Perasaan—untuk mengakhiri—itu sebenarnya timbul karena adanya bangunan asumsi dalam diri kita bahwa lota telah melakukan semuanya secara maksimal untuk mencapai titik tertinggi. Tapi pada kenyataannya kita tak pernah sampai ke sana. Ya disinilah letak keinginan tak sesuai dengan kenyataan padahal telah melakukan banyak hal untuk menggapainya. Situasi semacam ini hanya di derita oleh orang-orang yang secara mental mereka sangat lemah. Tepatnya mereka tak begitu mengenal tentang Proses, Hidup dan Kehidupan.
Sedangkan pada sisi yang lain, dimana ada anggapan kalau kita harus memulai lagi dari awal, atau beranggapan kalau semuanya ini masih belum berkahir justru baru dimulai. Kondisi semacam ini jelas akan membangkitkan andrenalin kita untuk terus berpacu dengan melodi kehidupan ini. Ikuti iramanya tapi kita yang tentukan goyangannya. Dan bagi saya orang semacam ini pada suatu ketika ia akan sampai pada sutau titik dalam kehidupannya yang ia pun tak pernah menduganya. Ketika mereka sampai disana mereka akan berkata “KEAJAIBAN”.
Kembali lagi pada persoalan ketidak berdayaan diatas, sebenarnya ada banyak faktor terjadinya hal tersebut. Di samping ketidakberdayaan itu memang melekat menjadi sifat kita. Tapi bukan manusia yang namanya jika harus terus tergeletak dalam ketidakberdayaan tersebut. karena “tidak berdaya” bukan berarti “mati”. Tapi kondisi dimana kita harus lebih kritis dalam mengevaluasi diri.
Dalam proses melakukan evaluasi ini dibutuhkan kesadaran akan kejujuran dalam diri kita sendiri. Berani menyalahkan sekecil apapun proses yang kita lakukan, dan berani mengambil alternatif lain untuk mendapatkan hasil yang berbeda. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah menggunakan Perasaan, Pikiran, dan Keyakinan secara proporsional dan profesional dalam setiap tema yang kita bahas dalam hidup ini.
Ketiga hal tersebut harus berjalan secara adil, karena kita tidak bisa hidup dengan paradigma apa yang kita rasakan secara terus menerus, karena bisa jadi perasaan itu juga salah, demikian juga dengan pikiran ataupun keyakinan. Jika kita sudah bisa menyatukan antara perasaan, pikiran dan keyakinan dalam satu garis lurus, itulah yang disebut dengan “kemantapan”.
Terkadang, orang seringkali berprilaku mengikuti perasaannya padahal ia tahu bertolak belakang dengan pikiran dan keyakinannya. Atau barang kali orang memang bergerak dengan keyakinan dan perasaannya tapi bertolak belakang dengan apa yang ia pikirkan. Bahkan ada juga orang yang bergerak sesuai dengan pikiran dan perasaannya tapi bertolak dengan keyakinannya. Semuanya itu tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal.
Jadi dalam hal apapun saya pikir, kita memang harus cerdas dalam menggunakan Perasaan, Pikiran dan Keyakinan tersebut, walaupun ketiganya memiliki peran dan fungsi tersendiri dalam kehidupan kita, dan terkadang kita harus lebih mementingkan salah satu diantara ketiganya namun kita tak bisa mengabaikan yang lainnya. Biarkan ketiganya memberikan pendapat pada kita. Namun pilihlah apa yang membuatmu hidup bahagia. Tidak hanya di dunia tapi di akhirat juga.
Hal ini sering kita alami dalam beberapa tema besar kehidupan kita, dalam hal cinta misalnya, orang sering kali mendewakan perasaannya dari pada pikiran dan keyakinannya. Sehingga ketika kenyataan tak sesuai harapan, ia kemudian tergeletak dalam kondisi ketidak berdayaan bahkan ada yang menangis hingga rumahnya kebanjiran. Jadi capailah dulu titik “KEMANTAPAN” barulah ambil “KEPUTUSAN”.
Hidup itu adalah pilihan, bahkan tak mau untuk memilih pun itu juga merupakan pilihan, dimana setipa pilihan punya konsekwensi-konsekwensi logis bagi hidup kita yang akan datang. Jadi “pilihan” itu adalah “keniscayaan”.
Seperti hal nya kesedihan dan kebahagiaan itu juga pilihan, dalam kondisi apapun jika kita memilih untuk bersedih, maka kita pasti bersedih, karena kita telah “merasa” dan “melakukan” hal-hal yang membuat kita tampak sedih. demikian juga sebaliknya.
0 komentar:
Posting Komentar